Khutbah Jum'at : Mengurangi Kekerasan dan Ekstrimisme Melalui Pendalaman Aqidah
Khutbah I
اَلْحَمْدُ
للهْ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ غَمَرَ صَفْوَةَ عِبَادِهِ بِلَطاَئِفِ
التَّخْصِيْصِ قَوْلًا وَامْتِنَانًا. وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ
فَأَصْبَحُوْا بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا. وَنَزَعَ الغِلَّ مِنْ
صُدُوْرِهِمْ فَأَصْبَحُوْا فِى الدُّنْيَا أَصْدِقَاءَ وَأَعْوَانًا،
وَفِي اْلآخِرَةِ رُفَاقَاءَ وَأَخِلَّاَنا، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً يَوْمَ الزِّحَامِ
بِهِ تُنْجِيْنَا، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا وَشَفِيْعَنَا
سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا قُرَّةَ اَعْيُنِنَا، الشَّافِعَ الْمُشَفَّعِ
يَوْمًا يَحْسَبُ اللهُ لَنَا أَعْمَالَنَا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
نُوْرِ الْاَنْوَارِ، وَسِرِّ الْاَسْرَارِ، وَتِرْيَاقِ الْاَغْيَارِ،
وَمِفْتَاحِ بَاِب الْيَسَارِ، سَيِّدِنَا وَمَوْلَاَنا مُحَمَّدٍ
الْمُخْتَارِ وَأَصْحَابِهِ الْأَخْيَارِ عَدَدَ نِعَمِ اللهِ
وَإِفْضَالِهِ. أما بعد
Ma’âsayairal hâdhirîn hafidhakumullâh,
Melalui
mimbar Jumat yang mulia ini, saya ingin menyampaikan wasiat dan
mengajak khususnya kepada diri saya sendiri, marilah kita tingkatkan
iman dan takwa kita kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ dengan cara berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Dalam
rangka meningkatkan iman dan takwa, di samping kita wajib melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, kita juga harus
melengkapi keimanan dan ketakwaan kita tersebut dengan pemahaman tentang
bagaimana beriman atau berkeyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya secara
benar.
Yang perlu diketahui pertama kali,
paling mendasar bagi semua insan adalah mengetahui tentang ketuhanan
(tauhid) secara mantap dalam hati. Mengutip pernyataan Syekh Ibnu Ruslan
dalam kitabnya Az-Zubad sebagai berikut:
أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْإِنْسَانِ مَعْرِفَةُ الْاِلَهِ بِاسْتِيْقَانِ
Artinya: “Kewajiban pertama kali bagi manusia adalah mengenal Tuhan dengan keyakinan yang teguh.”
Ulama-ulama Ahlussunnah menyatakan, setiap orang Islam wajib mengetahui sifat dasar ketuhanan yang tercantum pada istilah aqâid
lima puluh. Pada akidah dasar ini setiap orang harus mengenal Tuhannya,
bahwa Tuhan itu mempunyai sifat wajib 20, sifat muhal/mustahil juga 20,
dan sifat jâiz satu. Semua sifat di atas adalah dogma yang bersifat
absolut (benar, mutlak dan tak terbatas).
Bila
Allah disebut sebagai Dzat yang Maha-Melihat, Maha-Mendengar, dan
Maha-Mengetahui, maka penglihatan, pendengaran dan pengetahuan Allah subhanahu wa ta’ala tak terbatas dengan ruang dan waktu. Demikian juga kekuasaan dan kehendak-Nya tidak terbatas dengan ruang dan waktu.
Berbeda
sekali dari manusia yang senantiasa dalam keterbatasan. Misalnya kita
melihat, penglihatan kita terbatas pada saat kita terjaga. Ketika kita
tidur, kita tak lagi bisa melihat. Cara melihat kita pun melalui
perantara mata. Tanpa mata, kita tidak bisa melihat. Jarak pandang kita
juga terbatas. Kita di Indonesia tak bisa melihat belahan bumi yang
berseberangan dengan kita. Bahkan kita tidak bisa melihat dengan jarak
di atas 1 km. Ini menunjukkan pandangan kita terbatas. Berbeda dengan
pandangan Allah yang absolut, tak terbatas.
Kedua, apa saja yang terjadi di alam semesta ini, tidak lepas dari sifat qudrah (kemapuan) dan irâdah (kehendak)
Allah. Kehendak Allah meliputi apa saja yang terjadi di jagat raya ini
baik itu berskala kecil mulai dari penciptaan atom, pergerakan mikroba
sampai penciptaan bumi langit seisinya dan semua kegiatan entah itu baik
atau buruk, semua atas kehendak Allah.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya:
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam. (QS At-Takwir: 29)
Pada ayat tersebut, Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut turun berawal dari ayat
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعالَمِينَ، لِمَنْ شاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
Artinya:
“(Al-Quran) itu tidak lain adalah peringatan bagi seluruh alam. (Yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang menghendaki jalan yang lurus.”
Menurut
cerita Abu Hurairah dan Sulaiman bin Musa, saat ada Al-Qur'an yang
berbunyi, “bagi siapa di antara kamu yang menghendaki jalan yang lurus”,
Abu Jahal lalu berdalih. Ia membuat ayat ini sebagai tameng. “Semua
urusan itu terserah kita. Kalau kita mau, kita akan jadi orang yang
lurus. Jika kita tidak mau, ya kita tidak akan jadi orang lurus.” Begitu
kata Abu Jahal. Ideologi ini termasuk konsep dasar ideologi Qadariyah.
Setelah Abu Jahal mengatakan demikian, turunlah ayat:
وَما
تَشاؤُنَ إِلَّا أَنْ يَشاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعالَمِينَ، فَبَيَّنَ
بِهَذَا أَنَّهُ لَا يَعْمَلُ الْعَبْدُ خَيْرًا إِلَّا بِتَوْفِيقِ
اللَّهِ، وَلَا شَرًّا إِلَّا بِخِذْلَانِهِ
Dengan
demikian, jadi jelas. Seorang hamba tidak akan bisa berbuat kebaikan
kecuali mendapatkan pertolongan Allah, dan tidak pula bisa melakukan
keburukan kecuali melalui perantara kuasa Allah. (Tafsir Al-Qurthubi, juz 19, halaman 243)
Meskipun semua kebaikan dan keburukan itu atas kehendak Allah, para ulama membuat klasifikasi sebagai berikut:
Ada satu hal yang dikehendaki oleh Allah. Perkara ini selain dikehendaki, juga disukai dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Namun ada pula satu hal yang dikehendaki oleh Allah tapi tidak disukai dan tidak diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala yakni perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga
sebagai bentuk adab kita kepada Allah, jika kita melakukan kebaikan,
kita harus mengembalikan bahwa ini bukan kehendak kita, namun kehendak
Allah. Sehingga kita mengucapkan hamdalah, atas taufiq atau pertolongan
Allah, kita bisa melaksanakan taat.
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Artinya: “Maka Dia (Allah) mengilhamakaan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (QS As-Syams: 8)
Sebaliknya,
seumpama kita terpeleset melakukan maksiat, kita seharusnya menyatakan
itu perilaku kita pribadi berdasarkan atas kebodohan kita. Sehingga jika
demikian, kita kemudian minta ampun/istighfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Jika
kita sudah memahami bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah, kita
tidak boleh memaksa siapa pun untuk mengikuti kehendak kita, baik secara
gagasan maupun gerakan, termasuk dalam masalah berdakwah. Jangankan
kita, Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam saja tidak punya otoritas untuk memberikan hidayah kepada seseorang, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Sungguh, Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang
yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia
kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk." (QS Al-Qashah: 56)
Hadirin!
Merupakan
sunnatullah, manusia diciptakan terdiri dari laki-laki dan perempuan,
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Bahkan beraneka ragam budaya serta
agama yang diyakini oleh penduduk yang hidup di bawah kolong langit ini.
Semuanya itu hanya Allah yang akan memberikan penilaian. Siapa di
antara mereka yang paling mulia? Tentu mereka yang paling takwa. Siapa
yang paling takwa, hanya Allah yang paling bisa memberikan penilaian.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:"
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti. (QS
Al-Hujurat: 13)
Sikap ekstrem atau keras dalam
beragama dan tindakan kekerasan dalam berdakwah hanya akan merugikan
diri sendiri dan membuat citra negatif terhadap kesucian dan keagungan
Islam yang kita cintai dan kita banggakan ini.
Oleh karena itu, marilah kita teladani akhlak dan perilaku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah
mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusayawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS Ali Imran: 159)
Jika
tauhid kita kuat, mestinya kita tidak akan menebar ketakutan atau teror
kepada siapa pun. Nabi Muhammad dengan perilakunya, sikapnya yang lemah
lembut bisa menarik orang-orang yang sebelumnya belum Islam menjadi
memeluk agama Islam karena tertarik dengan model dan cara dakwah Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Meskipun
begitu, tetap saja ada orang-orang yang iri dan tidak setuju pada
dakwah Baginda Nabi yang mengajak mengesakan Tuhan seperti Abu Jahal,
Abu Lahab dan sebagainya. Bagaimana sikap Nabi? Nabi tidak membalasnya
dengan menebar teror kepada mereka. Nabi tidak pernah memaksakan ajakan
dakwahnya kepada mereka.
Lalu kenapa Nabi Muhammad berperang?
Iya,
perang yang dilakukan Nabi bukan dalam rangka teror. Perang yang
dilakukan Nabi adalah perang di medan tempur. Tidak ngebom di perumahan
dengan membabi-buta. Namun hanya dilakukan di medan tempur saja. Alasan
yang melatarbelanginya pun amat masuk akal, yakni pembelaan diri
lantaran kezaliman yang dialami umat Islam.
Sejak awal, Allah sudah mewahyukan kepada Nabi dengan ayat:
مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ
Artinya: “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (amanat Allah).” (QS Al-Maidah: 99)
Jika
Rasul yang benar-benar utusan Allah yang disucikan dari dosa dan
mendapat mandat langsung dari Allah saja tugasnya hanya menyampaikan,
maka tidak patut bagi kita untuk memaksakan kehendak atau pemahaman
agama kita kepada orang lain. Terlebih bertindak radikal dengan
menyebarkan teror ke mana-mana. Justru ini merugikan umat Islam
sendiri.
Hadirin,
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa
membimbing kita dan keluarga kita untuk bisa memeluk Islam dengan
aqidah atau keyakinan yang benar, Allah pertemukan kita kepada guru-guru
agama yang benar-benar faham akan agama. Semoga Allah memberikan taufiq
dan hidayahnya sehingga kita bisa mengikuti syari'at Baginda Nabi
Agungn Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang pada nantinya kita bisa meninggal dalam keadaan husnul khâtimah, amin ya Rabbal alamin.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. أعُوذُ بِاللهِ
مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١)
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)ـ ـ
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ ـ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ
وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ
وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ
بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ
تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ
اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ
مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر
وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ
وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزِّ
اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ
وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ
وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ
الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ
عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ
اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا
اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا
ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ
يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ
وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Dikutip dari : nu.or.id
Posting Komentar untuk "Khutbah Jum'at : Mengurangi Kekerasan dan Ekstrimisme Melalui Pendalaman Aqidah"